Taman Budaya Sulut Rencana Diubah Jadi SPBU? Pelaku Seni Sebut Sebagai Musibah Kebudayaan

oleh -67 views
oleh

Kondisi Gedung Taman Budaya Sulut.(Foto:ist).

Manado, Infosulut.id – Bayangkan sebuah taman yang dulu menjadi jantung denyut seni dan budaya Sulawesi Utara, kini terancam berubah menjadi stasiun pengisian bahan bakar. Itulah kenyataan getir yang tengah dihadapi para seniman di Sulut. Taman Budaya Sulawesi Utara, ruang ekspresi yang telah melahirkan ratusan karya lintas generasi, kini diintai untuk dialihfungsikan menjadi SPBU.

Hal ini diungkapkan oleh Aldes Sambalao,  sekaligus koordinator aksi,Gerakan Seniman Sulut (GEMAS) pada Senin (13-10-2025).

Kata dia, tak heran jika para pelaku seni menyebut ini sebagai musibah kebudayaan.
Dan Kabar ini bukan isapan jempol. Pada 1 Oktober 2025, sejumlah Aparatur Sipil Negara dari BKAD Provinsi Sulawesi Utara terlihat mengukur lahan dan bangunan di kawasan Taman Budaya. Spekulasi pun mencuat: akankah ruang seni ini benar-benar digusur demi kepentingan ekonomi jangka pendek?

Reaksi keras pun datang dari berbagai kalangan seniman. Bagi mereka, ini adalah puncak dari pengabaian sistematis terhadap kesenian yang telah berlangsung hampir satu dekade.

“Taman Budaya Sulut bukan sekadar bangunan tua. Ia adalah simbol peradaban, tempat bernaungnya kreativitas, dan rumah spiritual para seniman,”ungkapnya.

Dijelaskannya, dari teater hingga musik tradisi, dari seni rupa hingga tari, semuanya pernah berdenyut di tempat ini. Namun sejak 2017, taman ini ditelantarkan, dilucuti asetnya, dan dipinggirkan dari peta kebijakan pemerintah. Kini, setelah bertahun-tahun mati suri, ia justru terancam dilenyapkan secara permanen.

“Kami menuntut bukan sekadar ruang, tapi juga keadilan kultural. Pemerintah diminta menghentikan marginalisasi terhadap seni dan mengembalikan fungsi Taman Budaya dan Gedung Kesenian Pingkan Matindas sebagai rumah bersama penciptaan karya dan penguatan jati diri daerah. Di tengah geliat pembangunan fisik, suara ini mengingatkan tanpa budaya, semua pembangunan kehilangan jiwa,”jelasnya.

Lanjutnya, Di tengah geliat pembangunan fisik dan orientasi ekonomi yang makin dominan, Sulawesi Utara justru menyaksikan babak baru dalam sejarah kebudayaannya. Bukan berupa pagelaran atau festival, melainkan aksi demonstrasi budaya terbesar dalam satu dekade terakhir dan Ratusan pelaku seni dan budaya dari berbagai simpul komunitas menyatakan siap turun ke jalan di Manado pada pekan ketiga Oktober 2025, menentang rencana pengalihfungsian Taman Budaya Sulut menjadi SPBU.

“Tagar #KebudayaanMemanggil telah menghiasi media sosial selama sepekan terakhir, sebagai seruan bagi masyarakat untuk bangkit menyuarakan penolakan terhadap keputusan yang dianggap mencederai martabat seni dan budaya Sulut,”ungkapnya.

Lanjut dia, Gerakan ini tidak sekadar reaksi emosional, melainkan ledakan akumulasi kekecewaan panjang para seniman terhadap minimnya perhatian pemerintah terhadap sektor budaya.

“Ini sudah di titik nadir. Taman Budaya adalah rumah kami. Sekarang, rumah itu hendak dihancurkan demi SPBU? Kami tidak tinggal diam!” tegas Aldes Sambalao, perupa teater sekaligus koordinator aksi, kepada media media

Katanya lagi, Aksi ini akan menjadi pertemuan besar berbagai elemen kebudayaan: dari seniman teater, perupa, budayawan, penulis, hingga akademisi. Tercatat lebih dari 34 simpul kesenian dan budaya telah menyatakan bergabung untuk menyampaikan sikap yakni 
 Asosiasi Seni Tradisional Daerah Sulut (ASTD), Wale Teater, Sanggar Kreatif, Komunitas Torang, Forum Perupa Sulut, Dewan Adat Talaud, Sanggar Seriwang-Sangihe, Aliansi Kabasaran Seluruh Indonesia (AKSI), Pusat Kajian Komunitas Adat dan Budaya Bahari, Sanggar Seni Kitawaya, Sanggar Seni Manguni Wenang Kauneran, Sanggar Karangmantra, Sanggar Budaya Matambor, Sanggar Seni Senggighilang, Sanggar Seni Kalamatra, Asosiasi Seni Tari Sulut dan Teater Monibi.

Juga, Persatuan Maengket dan Masamper Sulut, Batoe Toelis Kreatif, Kavirsigers Squad, Sanggar Tangkasi Bitung, Komunitas Budaya Tionghoa Sulut, ISBIMA, Teater Club Manado, Sanggar Seni Ma’sani Tomohon dan Teater Roda. Termasuk pula Center for Alternative Policy, Komunitas Mapatik, TamangBae Lingkungan dan Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR).

“Salah satu pemantik utama aksi ini adalah kabar bahwa lahan Taman Budaya di kawasan Rike, Kecamatan Wanea, akan dialihfungsikan menjadi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Para seniman menilai ini bukan sekadar peralihan fungsi lahan, tetapi sebuah “musibah kebudayaan” yang menggambarkan bagaimana budaya dipinggirkan dalam pusaran kepentingan ekonomi,”cetusnya.

“Taman Budaya Sulut bukan hanya tempat pentas. Ia adalah simbol jatidiri, tempat kontemplasi, laboratorium kreativitas, dan ruang temu lintas generasi seniman. Kalau ini dikorbankan, kita sedang menghapus jejak peradaban kita sendiri,” tutur Alfred Pontolondo, perupa lukis.

Lanjut dia, Sejak diresmikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Fuad Hasan pada 8 Januari 1987, Taman Budaya Sulut telah menjadi titik temu berbagai disiplin seni – dari tari, musik, rupa hingga teater. Puncak kejayaannya terjadi pada tahun 2016 ketika menjadi tuan rumah Temu Taman Budaya se-Indonesia. Namun, sejak 2017, tempat ini justru terabaikan dan nyaris tak berfungsi lagi. Ironisnya, pembentukan Dinas Kebudayaan Sulut pada tahun 2017 justru menandai penurunan status Taman Budaya dari UPTD menjadi seksi kecil. Pemindahan personel ke Museum Negeri dan penghentian kegiatan menyebabkan kawasan ini terlantar, rusak, dan dipenuhi ilalang. Apa yang dulunya rumah kreativitas kini berubah menjadi simbol ketidakpedulian pemerintah terhadap budaya.

“Jika seni dan budaya tak lagi diberi ruang, kita sedang membiarkan roh masyarakat ini tercerabut. Tanpa budaya, kita bukan siapa-siapa,” kata seniman senior Jhon Piet Sondakh dengan nada getir.

Kata Sondakh, Tak hanya kehilangan tempat berekspresi, seniman Sulut juga merasa harga diri mereka diinjak. Setelah sebelumnya Gedung Kesenian Pingkan Matindas juga dialihfungsikan, kini Taman Budaya menyusul nasibnya. Sektor kebudayaan dianggap tidak produktif secara ekonomi, sehingga mudah disingkirkan dari prioritas kebijakan pembangunan. Namun, kini para seniman tak tinggal diam. Aksi turun ke jalan kali ini bukan hanya soal fisik Taman Budaya, tetapi sebuah perlawanan terhadap sistem yang menyepelekan nilai-nilai kebudayaan. Aksi ini akan mengusung tuntutan besar: “Taman Budaya Rumah Kami, Kembalikan!” langsung kepada Gubernur Sulawesi Utara, Yulius Selvanus, dan DPRD.

“Dalam gerakan ini, turut bergabung para pelaku seni budaya lintas generasi: Eric Dajoh, Inyo Iverdixon Tinungki, Rorimpandey, Reiner Ointoe, Jupiter Makasangkil, hingga antropolog Alex Jhon Ulaen. Juga ada nama-nama seperti Jhon Piet Sondakh, Pitres Sombowadile, Jaya Masloman, Tonny Mandak, Ferro Kuron, Ruland Wawoh, John Semuel, Melky Runtu, Arie Tulus, Joppy Sajouw. Dan Kehadiran para “abang” ini mempertegas bahwa yang dipertaruhkan bukan sekadar lahan, tetapi keberlangsungan nilai-nilai budaya yang mengakar dalam masyarakat,”terangnya.

Lanjutnya, Jika aksi ini berhasil menyadarkan para pengambil kebijakan, maka bukan hanya Taman Budaya yang akan diselamatkan. Tapi juga kesadaran kolektif bahwa bangsa besar adalah bangsa yang merawat kebudayaannya. Dan Sulawesi Utara, dengan segala kekayaan budayanya, layak untuk bangkit kembali menjadi mercusuar seni di timur Indonesia.

“Pemerintah Sulut harus menyadari, kebudayaan bukan sektor pelengkap, tapi fondasi bangsa. Ia membentuk karakter, membangun identitas, dan menjadi mercusuar moral masyarakat. Jika ini dihancurkan, maka kita sedang membangun tanpa ruh,” ujar Vick Baule, sutradara teater.

Kata Vick Baule, etnis besar Sulut, Minahasa, Totabuan, dan Nusa Utara, turut menyatukan suara dalam aksi ini. Mereka menggarisbawahi bahwa budaya adalah perekat utama kehidupan sosial di daerah ini. Ketika lahan Taman Budaya beralihfungsi menjadi SPBU, bukan hanya seniman yang terluka, tetapi seluruh ekosistem nilai-nilai kultural masyarakat.

“Aksi ini, dengan semangat keberagaman dan solidaritas lintas komunitas, menjadi sinyal kuat bahwa seni dan budaya adalah kekuatan politik yang tak bisa lagi diremehkan. Seniman bukan hanya penghibur di balik panggung, tetapi kini berdiri sebagai penjaga benteng terakhir peradaban,”katanya lagi.

“Kita bukan anti pembangunan, tapi menolak pembangunan yang membunuh kebudayaan. SPBU bisa dibangun di mana saja. Tapi Taman Budaya hanya satu, dan itu tak tergantikan,” tandas Aldes Sambalao.(Kifli).