Seruhkan Tangkap Pelaku Kekerasan Seksual, ”KAKSBG” Kecam Tindakan Pelaku Terhadap Orang tua Korban

oleh -427 views
oleh

Manado,Infosulut.id – Heran dengan tindakan Pelaku dan Penyidik, Koalisi Anti Kekerasan Seksual Berbasis Gender (KAKSBG) angkat suara perihal khasus kekerasan seksual yang menimpa KS, Rabu (01/11/2025) Manado.

Sebagaimana diungkapkan oleh Emanuella G. A. Malonda, S.H. selaku kordinator (KAKSBG), Pada 29 September 2025 orang-tua korban KS (kekerasan seksual) mendapatkan informasi dari Penyidik bahwa perkara mereka atas dugaan penganiayaan sudah sampai tahap penyidikan.

Sebelumnya orang tua korban KS telah dilaporkan oleh terduga pelaku KS inisial JCT ke Polresta Manado pada 26 Juli 2025. Kemudian pada 29 September 2025 orang tua korban diambil keterangannya oleh penyidik terkait tuduhan penganiayaan yang dilakukannya ke JCT.

Lebih lanjut Malonda menjelaskan, Koalisi sangat heran sebab begitu cepatnya perkara dugaan penganiayaan tersebut, sementara
perkara dugaan kekerasan seksual yang dialami anaknya telah dilaporkan pada 25 Juli 2025 dan masih di tahap lidik.

”Padahal orang tua dan saksi sudah bolak-balik dimintai keterangan oleh penyidik pembantu di Unit PPA Polresta Manado. Hal ini juga semakin menguatkan petugas tidak profesional dan kompeten dalam menangani perkara kekerasan seksual,”ungkap Emanuella

Kembali Malonda menuturkan mengenai Amanah pada Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang menangani perkara tindak pidana kekerasan seksual harus memenuhi persyaratan.

Adapun persyaratan yang dimaksud meliputi, a. memiliki integritas dan kompetensi tentang penanganan perkara yang berspektif hak asasi manusia dan korban; b. telah mengikuti pelatihan terkait penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual.

”Korban kekerasan seksual di Indonesia sebenarnya sudah dijamin perlindungan hukum dan kepastian hukumnya melalui Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dimana setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” celetuk perempuan tersebut.

Katanya lagi adapun Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapatkan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

Khusus pada korban kekerasan seksual pada anak juga ditegaskan pada Pasal 20 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) “Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak.

”Selanjutnya Pasal 59 UU Perlindungan Anak Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak,”sahutnya lagi.

Ia menegaskan pada Pasal 69A UU Perlindungan Anak mengamanahkan Perlindungan Khusus bagi Anak korban kejahatan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya: a. edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan; b. rehabilitasi sosial; c. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan d. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.

”Polresta Manado alih-alih memberikan perlindungan khusus dan kepastian hukum atas perkara korban, tapi malah mempidanakan orangtuanya. Saat ini Polresta Manado gagal merepresentasikan peran negara dalam melindungi rakyatnya, terutama anak yang menjadi korban kejahatan seksual. Jika korban mendapatkan kejahatan seksual lagi, Polresta Manado harus bertanggungjawab karena sudah mempidanakan orangtuanya,”kata Malonda

”Terlebih lagi Indonesia sudah meratifikasi CEDAW melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women) yang menegaskan bahwa negara menjamin kesetaraan gender pada sistem hukum yang berlaku, menghapuskan semua undang-undang yang diskriminasi, dan membentuk pengadilan dan lembaga publik untuk memastikan perlindungan efektif terhadap perempuan,”jelasnya

Kemudian diperkuat lagi pada UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), sebagaimana tertuang pada Pasal 26 Persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.

Tak sampai disitu Malonda juga menceritakan bagaimana kronologi singkat Kekerasan Seksual yang Dialami Korban

1. Terduga Pelaku JCT

Pada Oktober 2023, korban (saat itu umur korban masih 11 tahun) menghadiri acara duka bersama orang tuanya. Ayah korban meminta tolong kepada iparnya untuk mengantar korban pulang, namun justru terduga JCT yang menawarkan diri. Korban dibonceng bersama temannya, dan diturunkan dengan alasan mencari bensin terlebih dahulu.

Setelah mengisi bensin, JCT membawa korban ke tempat sepi dan memperkosanya di sebuah pos bangunan. Korban dipaksa melayani nafsu bejatnya, hingga korban mengalami luka pendarahan. Setelah
melakukan kekerasan seksual tersebut korban diancam agar tidak menceritakannya kepada siapapun, termasuk orangtuanya dan mertua JCT.

Peristiwa ini baru terungkap pada Juli 2025, setelah isi percakapan tidak senonoh di WhatsApp korban dan JCT yang diketahui keluarga. Setelah itu ibu korban menanyakan dan menggali obrolan tidak senonoh tersebut, hingga akhirnya terbongkar bahwa Korban diperkosa JCT.

Ibu korban syok berat karena pelaku merupakan menantu dari kakak ibu korban. Kemudian orang tua korban mendatangi rumah pelaku ingin mengkonfirmasi kepada JCT apa yang sebenarnya terjadi, tetapi ayah korban tiba-tiba geram ketika melihat wajah JCT dan refleks memukulnya.

Setelah pertemuan tersebut musyawarah pun dilakukan dengan pemerintahan desa beserta seorang polisi. Pada kesempatan itu JCT sempat menyangkal, lalu mengaku khilaf karena mabuk, dan akhirnya meminta maaf, namun keluarga korban menolak perdamaian. Orang tua JCT juga meminta maaf dan berupaya untuk mendamaikan perkara kekerasan seksual tersebut, tetapi keluarga tetap memilih menempuh jalur hukum.

2. Terduga Pelaku CU

Peristiwa ini berlangsung pada Mei 2025 dengan terduga pelaku CU (30 tahun), terjadi pada malam hari di rumah korban. Korban sendiri tidak dapat mengingat secara pasti tanggal kejadian tersebut. Awalnya, komunikasi antara korban dan CU dilakukan melalui aplikasi WhatsApp.

Dalam percakapan tersebut, korban sempat membahas tentang aktivitas minum minum, dan terlapor mengajak korban untuk datang ke rumahnya, tetapi ajakan itu ditolak oleh korban.

Setelah itu, korban pergi bersama temannya ke sebuah tempat berkumpul, di mana CU
sempat hadir sebentar sebelum akhirnya kembali ke rumahnya. Setelah acara kumpul selesai, korban kembali ke rumah dan melanjutkan komunikasi melalui WhatsApp dengan CU setelah sempat terputus. Pada tahap tersebut, arah percakapan mulai berubah ketika CU mengajukan ajakan yang bernuansa seksual.

Karena jarak antara rumah korban dan rumah CU berhadapan, CU kemudian datang diam-diam ke rumah korban. Di tempat tersebut CU melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap korban. Korban dan CU memiliki hubungan pacaran sekaligus masih terikat hubungan keluarga, yang menjadi faktor pendukung dalam pola child grooming.

Situasi tersebut menunjukkan bahwa CU memanfaatkan kedekatan emosional, relasi kuasa, serta kepercayaan yang telah dibangun dengan korban untuk melakukan tindak kekerasan seksual.

3. Terduga Pelaku GM

Awal terbongkarnya kekerasan seksual yang dialami korban ketika ibu korban mengetahui melalui handphone milik korban. Dalam handphone tersebut, ditemukan percakapan antara korban dan GM, yang menunjukkan bahwa GM mengajak korban untuk bertemu.

Setelah membaca isi percakapan, ibu korban menanyakan langsung kepada korban mengenai hal tersebut. Korban kemudian mengakui bahwa GM telah melakukan kekerasan seksual terhadapnya. Selain itu, korban juga mengungkapkan bahwa ia sempat menjalin hubungan pacaran dengan GM saat peristiwa itu terjadi.

Berdasarkan keterangan korban, GM melakukan kekerasan seksual sebanyak dua kali. Korban tidak dapat mengingat tanggal dan bulan kejadian pertama, tetapi memastikan bahwa peristiwa tersebut terjadi di lokasi yang sama pada tahun 2024. Sedangkan kejadian kedua terjadi pada tanggal 24 Juni 2024.

Pada hari itu, GM mengajak korban keluar, dan dalam perjalanan pulang mereka tiba-tiba menghadapi hujan deras. Saat melintas di suatu tempat, mereka berteduh di sebuah gubuk kecil. Di tempat tersebut, terlapor kembali melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap korban. Meskipun korban berusaha menolak, GM memaksa dengan meremas tangan korban
sehingga korban tidak mampu melawan.

Serangan Balik Hukum (Counter Attack) dari Pelaku

Koalisi menilai upaya pelaporan balik terhadap orang tua korban adalah perlawanan dari terduga pelaku agar perkara KS dihentikan. Karena sejak awal perkara KS ini memang didorong untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Perkara kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan di luar persidangan, terlebih lagi korbannya adalah anak. Anak dilindungi oleh negara, maka negara wajib mewakilinya untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan.

Pasal 23 UU TPKS menyebutkan Perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali pada terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam undang-undang.

”Jika Polresta Manado bisa berlaku adil dalam memandang perkara yang ditanganinya, mestinya perkara kekerasan seksual yang dialami korban terlebih dahulu diselesaikan. Bukan malah tuduhan penganiayaan yang dikebut, sehingga hal ini menghambat proses korban dan keluarganya untuk mendapatkan akses keadilan,”imbuh Emmanuella

Emanuella pun bersama KAKSBG Mendorong Kapolresta Manado harus meninjau langsung perkara kekerasan seksual yang dialami korban, karena mereka menilai adanya ketidakadilan dalam menangani perkara di wilayah hukumnya.

Menutup Narasinya Ia menegaskan bahwa KAKSBG menyeruhkan :

1. Segera tangkap pelaku kekerasan seksual karena telah meresahkan keluarga korban dan lingkungannya;
2. Hentikan pemidanaan terhadap orangtua korban karena ini merupakan upaya serangan balik hukum dari terduga pelaku kekerasan seksual;
3. Terapkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam menangani perkara kekerasan seksual;
4. Periksa Penyidik Pembantu dan Penyidik yang memeriksa perkara kekerasan seksual terhadap korban karena telah mengabaikan perkara.

(Candle)